Jumat, 25 Mei 2012

PENGERTIAN HUKUM ADAT MENURUT PARA AHLI

Pengertian Hukum Adat Menurut Para Ahli - Berikut ini informasi seputar pengertian hukum adat menurut para ahli yang mungkin anda cari untuk keperluan pendidikan. Silahkan dibaca pengertian hukum adat menurut para ahli dibawah ini.

Hukum adalah seperangkat norma dan aturan adat atau kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah. Istilah “kebiasaan” adalah terjemahan dari bahasa Belanda “gewoonte”, sedangkan istilah “adat” berasal dari istilah Arab yaitu ”adah” yang berarti juga kebiasaan. Jadi istilah kebiasaan dan istilah adat mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan.

Menurut ilmu hukum, kebiasaan dan adat itu dapat dibedakan pengertiannya. Perbedaan itu dapat dilihat dari segi pemakaiannya sebagai perilaku atau tingkah laku manusia atau dilihat dari segi sejarah pemakaian istilahnya dalam hukum di Indonesia.

Sebagai perilaku manusia istilah biasa berarti apa yang selalu terjadi atau apa yang lazim terjadi, sehingga kebiasaan berarti kelaziman. Adat juga bisa diartikan sebagai kebiasaan pribadi yang diterima dan dilakukan oleh masyarakat.

Sejarah perundang-undangan di Indonesia membedakan pemakaian istilah kebiasaan dan adat, yaitu adat kebiasaan di luar perundangan dan adat kebiasaan yang diakui oleh perundangan. Sehingga menyebabkan munculnya istilah hukum kebiasaan / adat yang merupakan hukum tidak tertulis dan hukum yang tertulis. Di Negara Belanda tidak membedakan istilah kebiasaan dan adat. Jika kedua-duanya bersifat hukum, maka disebut hukum kebiasaan (gewoonterecht) yang berhadapan dengan hukum perundangan (wettenrecht).

Istilah hukum adat sendiri berasal dari istilah Arab “Huk’m” dan “Adah”. Kata huk’m (jama’: ahakam) mengandung arti perintah atau suruhan, sedangkan kata adah berarti kebiasaan. Jadi hukum adat adalah aturan kebiasaan.

Di Indonesia hukum adat diartikan sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur agama.

Terminologi “Adat” dan “Hukum Adat” seringkali dicampur aduk dalam memberikan suatu pengertian padahal sesungguhnya  keduanya adalah dua lembaga yang berlainan.

Adat sering dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal, ketinggalan jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena “adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di masyarakat kecuali menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan soal-soal pantangan untuk dilakukan (tabu dan kualat). Terlebih lagi muncul istilah-istilah adat budaya, adat istiadat, dll.

Hukum Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem dan memiliki sanksi riil yang sangat kuat. Contohnya sejak jaman dulu, Suku Sasak di Pulau Lombok dikenal dengan konsep Gumi Paer atau Paer. Paer adalah satu kesatuan sistem teritorial hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, kemanan dan kepemilikan yang melekat kuat dalam masyarakat .

Istilah-istilah dalam pemahaman adat didasarkan atas level-level  antara lain :

~ Adat adalah hukum dan aturan yang berlaku di masyarakat dibuat atas dasar kesepakatan.

~ Adat yang diadatkan yaitu komunitas yang mempunyai ketentuan-ketentuan hukum telah ditetapkan.

~ Adat yang teradat yaitu jika produk hukum itu sudah menjadi adat kebiasaan masih tetap diberlakukan di tengah masyarakatnya.

~ Adat Istiadat yaitu kebiasaan-kebiasaan secara turun temurun yang didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan leluhur (lebih pada ketentuan-ketentuan tata cara ritual) yang kini perlu mengalami perubahan untuk disesuaikan (transformasi) pada era masa kini.

Dalam perkembangannya, hukum adat mengandung dua arti yaitu :

   1. Hukum kebiasaan yang bersifat tradisional disebut juga hukum adat.

Adalah hukum yang dipertahankan dan berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat tertentu.

Contoh : hukum adat Batak, hukum adat Jawa, dll.

   2. Hukum kebiasaan.

Adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, dalam hubungan pergaulan antara yang satu dan yang lain, dalam lembaga-lembaga masyarakat dan dalam lembaga-lembaga kenegaraan, kesemuanya yang tidak tertulis dalam bentuk perundangan.

Ciri-ciri hukum adat adalah :

   1. Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi.
   2. Tidak tersusun secara sistematis.
   3. Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.
   4. Tidak tertatur.
   5. Keputusannya tidak memakai konsideran (pertimbangan).
   6. Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.

Tiga dimensi hukum adat yang mengatur gerak hidup manusia dimuka bumi ini yaitu :

1. Dimensi Adat Tapsila (Akhlakul Qarimah)
Yaitu dimensi yang mengatur norma-norma dan etika hubungannya dengan lingkungan  sosial budaya, pergaulan alam dan keamanan lahir batin.

2. Dimensi Adat Krama
Yaitu dimensi yang mengatur hukum dalam hubungan perluasan keluarga (perkawinan) yang sarat dengan aturan-aturan hukum adat yang berlaku di masyarakat.

3. Dimensi Adat Pati / Gama
Yaitu dimensi yang mengatur tata cara dan pelaksanaan upacara ritual kematian dan keagamaan sehingga dimensi adat Pati kerap disebut sebagai dimensi adat Gama (disesuaikan dengan ajaran agama masing-masing).

Semua suku bangsa dan etnis di Indonesia memiliki dan terikat secara kultural maupun sosial ekonomi atas aturan dan tatanan nilai tradisional yang mengacu kepada adat dan hukum adat dengan penselarasan hukum-hukum agama atau kepercayaan.

Melihat dalam perspektif keberadaan kelembagaan adat dan hukum adat dalam kesehariannya merupakan bentuk keaslian dari masyarakat setempat yang memiliki asas gotong royong (partisipasi) karena didasarkan atas kebutuhan bersama. Nilai-nilai gotong royong dan semangat kebersamaan ini sesungguhnya merupakan padanan dari cita-cita masyarakat desa yaitu demokrasi, partisipasi, transparansi, beradat dan saling menghormati perbedaan (keberagaman).

Tanpa disadari bahwa nilai luhur dari semua aspek kehidupan telah diatur dengan norma-norma hukum adat yang teradat. Masyarakat adat memiliki tatanan dan lembaga adat dengan berbagai perangkat hukum yang dimiliki dan memiliki eksistensi yang kuat hingga saat ini. Lembaga adat terbukti sebagai lembaga yang menyelesaikan konflik-konflik yang tidak mampu ditangani oleh struktur lembaga formal.

Masyarakat Adat didefinisikan sebagai : Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Artinya suatu kelompok termasuk dalam masyarakat adat jika dia mempunyai sistem tersendiri dalam menjalankan penghidupan (liveli-hood) mereka, yang terbentuk karena interaksi yang terus menerus di dalam kelompok tersebut dan mempunyai wilayah teritori sendiri, dimana sistem-sistem nilai yang mereka yakini masih diterapkan dan berlaku bagi kelompok tersebut.

Dengan adanya UU No. 5 Thn. 1970 tentang Pemerintahan di Desa membuat sistem pemerintahan adat tergusur dan kehilangan fungsinya. Karena UU tersebut menseragamkan struktur kepemimpinan di desa dengan menempatkan Kepala Desa sebagai pemimpin tertinggi. Padahal Kepala Desa diangkat oleh pemerintah, ketimbang Kepala Adat yang dipilih oleh rakyatnya. Sejak itu lambat laun sistem pemerintahan masyarakat adat kehilangan fungsinya, dimana sekarang sekedar menjadi simbol tanpa kekuasaan yang berarti. Dewasa ini, adat hanya terbatas kepada ritual budaya yang dipertahankan untuk nilai komersil, utamanya untuk mendongkrak sektor pariwisata.

Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri, harus diakui telah hidup masyarakat dengan wujud kesatuan sosial dengan cirinya masing-masing yang terus-menerus melembaga, sehingga menjadi suatu kebudayaan lengkap dengan tatanan aturan tingkah lakunya. Interaksi yang terus menerus di antara mereka membuat mereka mempunyai sistem politik, sistem ekonomi dan sistem pemerintahan sendiri.

Sistem Kebudayaan yang beraneka itu, ternyata belumlah tuntas dibahas dan dipahami. Sedang pada tatanan lain, adanya kemajemukan sistem budaya di Indonesia ini telah diakui dari semboyan Negara yaitu "BHINNEKA TUNGGAL IKA" yang artinya walaupun beraneka ragam budayanya, tetapi kita adalah satu kesatuan dalam Negara Republik Indonesia.

Namun pada kenyataannya yang terjadi di lapangan berkata lain. Banyak cerita pedih seputar keberadaan masyarakat adat terutama jika berbicara hak dan akses mereka terhadap sumber daya alam. Cerita penggusuran rakyat pribumi dari sumber-sumber kehidupannya menghiasi sejarah pembangunan di negeri ini. Contohnya saja Suku Amungme dan Komoro di Irian akibat eksploitasi pertambangan di tanah mereka, Suku Sakai di Riau karena adanya eksploitasi perminyakan, dan orang-orang Dayak di Kalimantan akibat eksploitasi di sektor kehutanan dan pertambangan.

Sebaiknya sebelum semua menjadi terlambat, perhatian khusus dan penghargaan yang layak bagi masyarakat adat harus segera dimulai, untuk menghindari kisah sedih bangsa Indian di Amerika Utara dan suku Aborigin di Australia tidak terjadi di negeri yang menjunjung tinggi falsafah Pancasila ini.

PENGERTIAN HUKUM ADAT

Definisi hukum adat menurut para sarjana adalah sebagai berikut:

Van Vollenhoven menjelaskan bahwa hukum adat adalah Keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu disebuthukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu disebut adat).

Bushar Muhammad menjelaskan bahwa untuk memberikan definisi hukum ada sulit sekali karena, hukum adat masih dalam pertumbuhan; sifat dan pembawaan hukum adat ialah:
- Tertulis atau tidak tertulis
- Pasti atau tidak pasti
- Hukum raja atau hukum rakyat dan sebagainya.

Terhar berpendapat bahwa hukum adat dalam dies tahun 1930 dengan judul “Peradilan landraad berdasarkan hukum tidak tertulis yaitu:
- Hukum adat lahir dari & dipelihara oleh keputusan-keputusan, seperti:
- Keputusan berwibawa dari kepala rakyat (para warga masyarakat hukum)
- Para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat (melainkan senafas / seirama).
- Dalam orasi tahun 1937 “Hukum Hindia belanda di dalam ilmu, praktek & pengajaran menjelaskan bahwa hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum yang berwibawa serta berpengaruh dan yang dalam pelaksanaannya dipatuhi dengan sepenuh hati. (Para fungsionaris hukum: hakim, kepala adat, rapat desa, wali tanah, petugas dilapangan agama, petugas desa lainnya)  ajaran keputusan (Bestissingenteer)

Koentjaningrat mengatakan batas antara hukum adat & adat adalah mencari adany empat ciri hukum / attributes of law yaitu:
1.Attribute of authority
Adanya keputusan-keputusan melalui mekanisme yang diberi kuasa dan berpengaruh dalam masyarakat.
2.Attribute of Intention of universal application
Keputusan-keputusan dari pihaj yang berkuasa itu harus di maksudkan sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang & harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa pada masa akan datang.
3. Attribute of obligation (ciri kewajiban)

Keputusan-keputusan dari pemegang kuasa itu harus mengandung rumusan mengenai hak & kewajiban.
4.Attribute of sanction (ciri penguat)
Keputusan-keputusan dari pemegang kuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti luas. Bisa berupa sanksi jasmaniah; sanksi rohaniah (rasa malu, rasa dibenci)
Pola pikir dari Koentjaningrat dipengaruhi oleh L. POSPISIT seorang sarjana antroplogi dari amerika serikat.

Soerjono Soekanto berpendapat bahwa hukum adat adalah kompleks adat-adat yang tidak dikitabkan (tidak dikodifikasikan) bersifat paksaan (mempunyai akibat hukum.

Supomo & hazairin mengambil kesimpulan bahwa hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat. (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu) yaitu dalam keputusan lurah, penghulu, pembantu lurah, wali tanah, kepala adat, hakim.

Ketentuan hasil seminar Hukum adat di Yogyakarta Tahun 1975 tentang definisi hukum adat adalah sebagai berikut:

Hukum adat adalah Hukum indonesia asli yang tidak tertulis dalam perundang-undangan RI dan disana-sini mengandung unsur agama. Kedudukan Hukum Adat sebagai salah satu sumber penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju pada unifikasi hukum (penyamaan hukum).

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

BUKU KESATU-ATURAN UMUM
  1. Bab I - Batas-batas berlakunya Aturan Pidana dalam Perundang-undangan
  2. Bab II - Pidana
  3. Bab III - Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana
  4. Bab IV - Percobaan
  5. Bab V - Penyertaan Dalam Tindak Pidana
  6. Bab VI - Perbarengan Tindak Pidana
  7. Bab VII - Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan dalam Hal Kejahatan-kejahatan yang Hanya Dituntut atas Pengaduan
  8. Bab VIII - Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana
  9. Bab IX - Arti Beberapa Istilah yang Dipakai dalam Kitab Undang-undang
  10. Aturan Penutup
BUKU KEDUA-KEJAHATAN

  1. Bab - I Kejahatan Terhadap Keamanan Negara
  2. Bab - II Kejahatan-kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden
  3. Bab - III Kejahatan-kejahatan Terhadap Negara Sahabat dan Terhadap Kepala Negara Sahabat Serta Wakilnya
  4. Bab - IV Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan
  5. Bab - V Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
  6. Bab - VI Perkelahian Tanding
  7. Bab - VII Kejahatan yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang atau Barang
  8. Bab - VIII Kejahatan Terhadap Penguasa Umum
  9. Bab - IX Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu
  10. Bab - X Pemalsuan Mata Uang dan Uang Kertas
  11. Bab - XI Pemalsuan Meterai dan Merek
  12. Bab -
  1. Bab - XIII Kejahatan Terhadap Asal-Usul dan Perkawinan
  2. Bab - XIV Kejahatan Terhadap Kesusilaan

  1. Bab - XV Meninggalkan Orang yang Perlu Ditolong
  2. Bab - XVI Penghinaan
  3. Bab - XVII Membuka Rahasia
  4. Bab - XVIII Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang
  5. Bab - XIX Kejahatan Terhadap Nyawa
  6. Bab - XX Penganiayaan
  7. Bab - XXI Menyebabkan Mati atau Luka-luka Karena Kealpaan
  8. Bab - XXII Pencurian
  9. Bab - XXIII Pemerasan dan Pengancaman
  10. Bab - XXIV Penggelapan
  11. Bab - XXV Perbuatan Curang
  12. Bab - XXVI Perbuatan Merugikan Pemiutang atau Orang yang Mempunyai Hak
  13. Bab - XXVII Menghancurkan atau Merusakkan Barang
  14. Bab - XXVIII Kejahatan Jabatan
  15. Bab - XXIX Kejahatan Pelayaran
  16. Bab - XXIX A Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan
  17. Bab - XXX Penadahan Penerbitan dan Percetakan
BUKU KETIGA-PELANGGARAN

  1. Bab I - Tentang Pelanggaran Keamanan Umum bagi Orang atau Barang dan Kesehatan
  2. Bab II - Pelanggaran Ketertiban Umum
  3. Bab III - Pelanggaran Terhadap Penguasa Umum
  4. Bab IV - Pelanggaran Mengenai Asal-Usul dan Perkawinan
  5. Bab V - Pelanggaran Terhadap Orang yang Memerlukan Pertolongan
  6. Bab VI - Pelanggaran Kesusilaan
  7. Bab VII - Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman dan Pekarangan
  8. Bab VIII - Pelanggaran Jabatan
  9. Bab IX - Pelanggaran Pelayaran

PERCOBAAN (POOGING)

Pada umumnya yang dimaksud dengan percobaan adalah suatu perbuatan dimana:
  1. Ada perbuatan permulaan;
  2. Perbuatan tersebut tidak selesai atau tujuan tidak tercapai;
  3. Tidak selesainya perbuatan tersebut bukan karena kehendaknya sendiri
Sifat Percobaan, terdapat 2 pandangan:
  1. Sebagai Strafausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya orang) sehingga, percobaan tidak dipandang sebagai jenis atau bentuk delik yang berdiri sendiri (delictum sui generis), tetapi dipandang sebgai bentuk delik tidak sempurna (onvolkomendelictsvorm). Dianut: Hazewinkel‐Suringa, Oemar Seno Adji
  2. Sebagai Tatbestandausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya perbuatan). Sehingga, percobaan dipandang sebagai delik yang sempurna (delictum sui generis)hanya dalam bentuk yang istimewa. Dianut: Pompe, Muljatno
Percobaan adalah suatu usaha untuk mencapai suatu tujuan akan tetapi pada akhirnya tidak ada atau belum berhasil. Percobaan atau poooging diatur dalam Bab IX Buku I KUHP Pasal 53. Dalam KUHP Indonesia tidak dijumpai mengenai rumusan arti atau definisi “percobaan”, yang dirumuskan hanyalah batasan mengenai kapan dikatakan ada percobaan untuk melakukan kejahatan. Yang dapat dipidana, hanyalah percobaan terhadap kejahatan dan tidak terhadap pelanggaran (pasal 54)
Sanksi untuk percobaan berbeda dengan delik yang sempurna. Yakni maksimum pidana yang dijatuhkan terhadap kejahatan yang bersangkutan dikurangi 1/3.
Syarat‐syarat untuk dapat dipidananya percobaan adalah sebagai berikut:
  • Niat;
  • Adanya permulaan pelaksanaan;
  • Pelaksanaan tidak selesai bukan semata‐mata karena kehendaknya sendiri;
Menurut Moeljatno berpendapat bahwa niat jangan disamakan dengan kesengajaan tetapi niat secra potensial bisa berubah menjadi kesengajaan apabbbbla sudah di tunaikan menjadi perbuatan yang dituju. Pengertiannya :
  • Semua perbuatan yang diperlukan dalam kejahatan telah dilakukan tetapi akibat yang dilarang tidak timbul
  • Kalau belum semua ditunaikan menjadi perbuatan maka niat masih ada dan merupakan sifat batin yang memberi arah kepada percobaan.
  • Oleh karena niat tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan kesengajaan maka isinya niat jangan diambil dari sisi kejahatannya apabila kejahatan timbul untuk itu diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu jadi bahwa sudah ada sejak niat belum ditunaikan.
  • Harus ada permulaan pelaksanaan pasal 53, hal ini tidak dicantumkan: Permulaan pelaksanaan.
  • Menurut mut harus diartikan dengan permulaan pelaksanaan dengan kejahatan.
Jenis-jenis dalam percobaan terdiri atas :
1. Percobaan selesai atau percobaan lengkap (violtooid poging)
Adalah suatu suatu percobaan apabla sipembuat telah melakukan kesengajaan untuk menyelesikan suatu tindak pidana tetapi tdak terwujud bukan atas kehendaknya. Contoh : seorang A menembak B tetapi meleset.
2. Percobaan tertunda atau Percobaan terhenti atau tidak lengkap (tentarif poging)
Adalah suatu percobaan apabila tidak semua perbuatan pelaksanaan disyaratkan untuk selesainya tindak pidana yang dilakukan tetapi karena satu atau dua yang dilakukan tidak selesai. Contoh : A membidikan pistolnya ke B dan dihalangi oleh C
3. Percobaan tidak mampu (endulig poging)
Adalah suatu percobaan yang sejak dimulai telah dapat dikatakan tidak mungkin untuk menimbulkan tindak pidana selesai karena :
-   Alat yang dipakai untuk melakukan tindak pidana adalah tidak mampu
-   Obyek tindak pidana adalah tidak mampu baik absolut maupun relative.
Oleh karena itu dikenal 4 bentuk percobaan tidak mampu :
-   Percobaan tidak mampu yang mutlak karena alat yaitu suatu percobaan yang sama sekali menimbulkan tindak pidana selesai karena alatnya sama sekali tidk dapat dipakai.
-   Percobaan mutlak karena obyek yaitu suatu percobaan yang tidak mungkin menimbulkan tindak pidana selesi kaena obyeknya sama sekali tidak mungkin menjadi obyek tindak pidana.
-   Percobaan relatif karena alat yaitu karena alatnya umumnya dapat dipai tetapi kenyataanya tidak dapat dipakai.
-   Percobaan relatif karena obyek yaitu apabila subyeknya pada umumnya dapat menjadi obyek tindak pidana tetapi tidak dapat menjadi obyek tindaka pidana yang bersangkutan.
4. Percobaan yang dikualifikasikan
Yaitu untuk melakukan suatu tindak pidana tertentu tetapi tidak mempunyai hasil sebagaimana yang dirahakan, melainkan perbuatannya menjadi delik hukum lain atau tersendiri.

KESALAHAN

Berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea, bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, maka pengertian tindak pidana itu terpisah dengan yang dimaksud pertanggungjawaban tindak pidana.
Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan.
Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan.
Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en wetens. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau haruslah mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.
Disini dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von Hippel maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sengaja adalah kehendak membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu atau akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud dari dilakukannya perbuatan itu.
Jika unsur kehendak atau menghendaki dan mengetahui dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan tidak dapat dibuktikan dengan jelas secara materiil -karena memang maksud dan kehendak seseorang itu sulit untuk dibuktikan secara materiil- maka pembuktian adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku seringkali hanya dikaitkan dengan keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu ia melakukan perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan kepadanya tersebut.
Disamping unsur kesengajaan diatas ada pula yang disebut sebagai unsur kelalaian atau kelapaan atau culpa yang dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai kealpaan yang tidak disadari atau onbewuste schuld dan kealpaan disadari atau bewuste schuld. Dimana dalam unsur ini faktor terpentingnya adalah pelaku dapat menduga terjadinya akibat dari perbuatannya itu atau pelaku kurang berhati-hati.
Wilayah culpa ini terletak diantara sengaja dan kebetulan. Kelalaian ini dapat didefinisikan sebagai apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan perbuatan itu menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, maka walaupun perbuatan itu tidak dilakukan dengan sengaja namun pelaku dapat berbuat secara lain sehingga tidak menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang, atau pelaku dapat tidak melakukan perbuatan itu sama sekali.
Dalam culpa atau kelalaian ini, unsur terpentingnya adalah pelaku mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat membayangkan akan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang dapat dihukum dan dilarang oleh undang-undang.
Maka dari uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa jika ada hubungan antara batin pelaku dengan akibat yang timbul karena perbuatannya itu atau ada hubungan lahir yang merupakan hubungan kausal antara perbuatan pelaku dengan akibat yang dilarang itu, maka hukuman pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku atas perbuatan pidananya itu.

SYARAT MELAWAN HUKUM

Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila orang tersebut melanggar undang-undang yang ditetapkan oleh hukum. Tidak semua tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum karena ada alasan pembenar, berdasarkan pasal 50, pasal 51 KUHP. Sifat dari melawan hukum itu sendiri meliputi :
a.  Sifat formil yaitu bahwa perbuatan tersebut diatur oleh undang-undang.
b.  Sifat materiil yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak selalu harus diatur dalam sebuah undang-undang tetapi juga dengan perasaan keadilan dalam masyarakat.
Perbuatan melawan hukum dapat dibedakan menjadi :
  • Fungsi negatif yaitu mengakui kemungkinan adanya hal-hal diluar undang-undang dapat menghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang.
  • Fungsi positif yaitu mengakui bahwa suatu perbuatan itu tetap merupakan tindak pidana meskipun tidak dinyatakan diancam pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau aturan-aturan yang ada di luar undang-undang.
Sifat melawan hukum untuk yang tercantum dalam undang-undang secara tegas haruslah dapat dibuktikan. Jika unsure melawan hukum dianggap memiliki fungsi positif untuk suatu delik maka hal itu haruslah dibuktikan. Jika unsure melawan hukum dianggap memiliki fungsi negative maka hal itu tidak perlu dibuktikan.

UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA

Unsur formal meliputi :
  • Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia.
  • Melanggar peraturan pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya yang telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu peraturan pidana, maka tidak ada tindak pidana.
  • Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan tindak pidana yang telah dilakukan.
  • Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan dari orang yang melakukan tindak pidana serta Orang tersebut berbuat sesuatu dengan sengaja, mengetahui dan sadar sebelumnya terhadap akibat perbuatannya. Kesalahan dalam arti sempit dapat diartikan kesalahan yang disebabkan karena si pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.
  • Pertanggungjawaban yang menentukan bahwa orang yang tidak sehat ingatannya tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggungjawaban seseorang terletak dalam keadaan jiwanya.
Unsur material dari tindak pidana bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sehingga perbuatan yang tidak patut dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi rumusan undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri pelaku tindak pidana. Unsur ini meliputi :
  • Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat sesuatu), misal membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal 351 KUHP).
  • Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat dalam delik material atau delik yang dirumuskan secara material, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP), dan lain-lain.
  • Ada unsur melawan hukum. Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum, meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam perumusan.
Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana
Ada beberapa tindak pidana yang untuk mendapat sifat tindak pidanya itu memerlukan hal-hal objektif yang menyertainya, seperti penghasutan (Pasal 160 KUHP), melanggar kesusilaan (Pasal 281 KUHP), pengemisan (Pasal 504 KUHP), mabuk (Pasal 561 KUHP). Tindak pidana tersebut harus dilakukan di muka umum.
  • Unsur yang memberatkan tindak pidana. Hal ini terdapat dalam delik-delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya, yaitu karena timbulnya akibat tertentu, maka ancaman pidana diperberat, contohnya merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP) diancam dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun, jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat ancaman pidana diperberat lagi menjadi pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
  • Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana. Misalnya dengan sukarela masuk tentara asing, padahal negara itu akan berperang dengan Indonesia, pelakunya hanya dapat dipidana jika terjadi pecah perang (Pasal 123 KUHP).
Tindak pidana juga mengenal adanya unsur subjektif, unsur ini meliputi :
  • Kesengajaan (dolus), dimana hal ini terdapat di dalam pelanggaran kesusilaan (Pasal 281 KUHP), perampasan kemerdekaan (Pasal 333 KUHP), pembunuhan (Pasal 338).
  • Kealpaan (culpa), dimana hal ini terdapat di dalam perampasan kemerdekaan (Pasal 334 KUHP), dan menyebabkan kematian (Pasal 359 KUHP), dan lain-lain.
  • Niat (voornemen), dimana hal ini terdapat di dalam percobaan atau poging (Pasal 53 KUHP)
  • Maksud (oogmerk), dimana hal ini terdapat dalam pencurian (Pasal 362 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP), dan lain-lain
  • Dengan rencana lebih dahulu (met voorbedachte rade), dimana hal ini terdapat dalam membuang anak sendiri (Pasal 308 KUHP), membunuh anak sendiri (Pasal 341 KUHP), membunuh anak sendiri dengan rencana (Pasal 342 KUHP).

PENGERTIAN HUKUM PIDANA DAN TINDAK PIDANA

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan untuk :
-  Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut
- Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimanayang telah diancamkan
- Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Dalam ilmu hukum ada perbedaan antara istilah “pidana” dengan istilah “hukuman”. Sudarto mengatakan bahwa istilah “hukuman” kadang-kadang digunakan untuk pergantian perkataan “straft”, tetapi menurut beliau istilah “pidana” lebih baik daripada “hukuman. Menurut Muladi dan Bardanawawi Arief “Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya. Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukan cirri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas”. Pengertian tindak pidana yang di muat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang sering disebut dengan strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering dipergunakan oleh pakar hukum pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta delik.

BUKU KEEMPAT- PEMBUKTIAN dan KEDALUWARSAAN

Buku keempat mengatur tentang pembuktian dan daluwarsa. Hukum tentang pembuktian tidak saja diatur dalam hukum acara (Herzine Indonesisch Reglement / HIR) namun juga diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Didalam buku keempat ini diatur mengenai prinsip umum tentang pembuktian dan juga mengenai alat-alat bukti. Dikenal adanya 5 macam alat bukti yaitu :
  • a. Surat-surat
  • b. Kesaksian
  • c. Persangkaan
  • d. Pengakuan
  • e. Sumpah
Daluwarsa (lewat waktu) berkaitan dengan adanya jangka waktu tertentu yang dapat mengakibatkan seseorang mendapatkan suatu hak milik (acquisitive verjaring) atau juga karena lewat waktu menyebabkan seseorang dibebaskan dari suatu penagihan atau tuntutan hukum (inquisitive verjaring). Selain itu diatur juga hal-hal mengenai “pelepasan hak” atau “rechtsverwerking” yaitu hilangnya hak bukan karena lewatnya waktu tetapi karena sikap atau tindakan seseorang yang menunjukan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan suatu hak.
  • Bab I - Tentang pembuktian pada umumnya
  • Bab II - Tentang pembuktian dengan tulisan
  • Bab III - Tentang pembuktian dengan saksi-saksi
  • Bab IV - Tentang persangkaan
  • Bab V - Tentang pengakuan
  • Bab VI - Tentang sumpah di hadapan hakim
  • Bab VII - Tentang kedaluwarsa pada umumnya

BBUKU KETIGA-PERIKATAN

Buku mengatur tentang perikatan (verbintenis). Maksud penggunaan kata “Perikatan” disini lebih luas dari pada kata perjanjian. Perikatan ada yang bersumber dari perjanjian namun ada pula yang bersumber dari suatu perbuatan hukum baik perbuatan hukum yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) maupun yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwarneming). Buku ketiga tentang perikatan ini mengatur tentang hak dan kewajiban yang terbit dari perjanjian, perbuatan melanggar hukum dan peristiwa-peristiwa lain yang menerbitkan hak dan kewajiban perseorangan.
Buku ketiga bersifat tambahan (aanvulend recht), atau sering juga disebut sifat terbuka, sehingga terhadap beberapa ketentuan, apabila disepekati secara bersama oleh para pihak maka mereka dapat mengatur secara berbeda dibandingkan apa yang diatur didalam BW. Sampai saat ini tidak terdapat suatu kesepakatan bersama mengenai aturan mana saja yang dapat disimpangi dan aturan mana yang tidak dapat disimpangi. Namun demikian, secara logis yang dapat disimpangi adalah aturan-aturan yang mengatur secara khusus (misal : waktu pengalihan barang dalam jual-beli, eksekusi terlebih dahulu harga penjamin ketimbang harta si berhutang). Sedangkan aturan umum tidak dapat disimpangi (misal : syarat sahnya perjanjian, syarat pembatalan perjanjian).
  • Bab I - Tentang perikatan pada umumnya
  • Bab II - Tentang perikatan yang lahir dari kontrak atau persetujuan
  • Bab III - Tentang perikatan yang lahir karena undang-undang
  • Bab IV - Tentang hapusnya perikatan
  • Bab V - Tentang jual-beli
  • Bab VI - Tentang tukar-menukar
  • Bab VII - Tentang sewa-menyewa
  • Bab VIIA - Tentang perjanjian kerja
  • Bab VIII - Tentang perseroan perdata (persekutuan perdata)
  • Bab IX - Tentang badan hukum
  • Bab X - Tentang penghibahan
  • Bab XI - Tentang penitipan barang
  • Bab XII - Tentang pinjam-pakai
  • Bab XIII - Tentang pinjam pakai habis (verbruiklening)
  • Bab XIV - Tentang bunga tetap atau bunga abadi
  • Bab XV - Tentang persetujuan untung-untungan
  • Bab XVI - Tentang pemberian kuasa
  • Bab XVII - Tentang penanggung
  • Bab XVIII - Tentang perdamaian

BUKU KEDUA BENDA/ BARANG

Buku kedua mengatur mengenai benda sebagai obyek hak manusia dan juga mengenai hak kebendaan. Benda dalam pengertian yang meluas merupakan segala sesuatu yang dapat dihaki (dimiliki) oleh seseorang. Sedangkan maksud dari hak kebendaan adalah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan kepada pihak ketiga. Buku kedua tentang benda pada saat ini telah banyak berkurang, yaitu dengan telah diaturnya secara terpisah hal-hal yang berkaitan dengan benda (misal dengan Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, Undang-undang N0. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan . Dalam hal telah diatur secara terpisah oleh suatu peraturan perundang-undangan maka dianggap pengaturan mengenai benda didalam BW dianggap tidak berlaku.
  • Bab I - Tentang barang dan pembagiannya
  • Bab II - Tentang besit dan hak-hak yang timbul karenanya
  • Bab III - Tentang hak milik
  • Bab IV - Tentang hak dan kewajiban antara para pemilik pekarangan yang bertetangga
  • Bab V - Tentang kerja rodi
  • Bab VI - Tentang pengabdian pekarangan
  • Bab VII - Tentang hak numpang karang
  • Bab VIII - Tentang hak guna usaha (erfpacht)
  • Bab IX - Tentang bunga tanah dan sepersepuluhan
  • Bab X - Tentang hak pakai hasil
  • Bab XI - Tentang hak pakai dan hak mendiami
  • Bab XII - Tentang pewarisan karena kematian
  • Bab XIII - Tentang surat wasiat
  • Bab XIV - Tentang pelaksana surat wasiat dan pengelola harta peninggalan
  • Bab XV - Tentang hak berpikir dan hak istimewa untuk merinci harta peninggalan
  • Bab XVI - Tentang hal menerima dan menolak warisan
  • Bab XVII - Tentang pemisahan harta peninggalan
  • Bab XVIII - Tentang harta peninggalan yang tak terurus
  • Bab XIX - Tentang piutang dengan hak didahulukan
  • Bab XX - Tentang gadai
  • Bab XXI - Tentang hipotek

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

 BUKU KESATU-ORANG
Buku pertama mengatur tentang orang sebagai subyek hukum, hukum perkawinan dan hukum keluarga, termasuk waris.
  • Bab I - Tentang menikmati dan kehilangan hak-hak kewargaan
  • Bab II - Tentang akta-akta catatan sipil
  • Bab III - Tentang tempat tinggal atau domisili
  • Bab IV - Tentang perkawinan
  • Bab V - Tentang hak dan kewajiban suami-istri
  • Bab VI - Tentang harta-bersama menurut undang-undang dan pengurusannya
  • Bab VII - Tentang perjanjian kawin
  • Bab VIII - Tentang gabungan harta-bersama atau perjanjian kawin pada perkawinan kedua atau selanjutnya
  • Bab IX - Tentang pemisahan harta-benda
  • Bab X - Tentang pembubaran perkawinan
  • Bab XI - Tentang pisah meja dan ranjang
  • Bab XII - Tentang keayahan dan asal keturunan anak-anak
  • Bab XIII - Tentang kekeluargaan sedarah dan semenda
  • Bab XIV - Tentang kekuasaan orang tua
  • Bab XIVA - Tentang penentuan, perubaran dan pencabutan tunjangan nafkah
  • Bab XV - Tentang kebelumdewasaan dan perwalian
  • Bab XVI - Tentang pendewasaan
  • Bab XVII - Tentang pengampuan
  • Bab XVIII - Tentang ketidakhadiran

SISTEMATIKA HUKUM PERDATA DI INDONESIA

Sistematika hukum di Indonesia ada dua pendapat, yaitu :
a. Dari pemberlaku undang-undang
Buku I : Berisi mengenai orang
Buku II : Berisi tentanng hal benda
Buku III : Berisi tentang hal perikatan
Buku IV : Berisi tentang pembuktian dan kadaluarsa
b. Menurut ilmu hukum / doktrin dibagi menjadi 4 bagian yaitu :
I. Hukum tentang diri seseorang (pribadi)
Mengatur tentang manusia sebagai subjek hukum, mengatur tentang perihal kecakapan untuk bertindak sendiri.
II. Hukum kekeluargaan
Mengatur perihal hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami istri, hubungna antara orang tua dengan anak, perwalian dan lain-lain.
III. Hukum kekayaan
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat diukur dengan dengan uang, hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan yang antara lain :
- hak seseorang pengarang atau karangannya
- hak seseorang atas suatu pendapat dalam lapangan ilmu pengetahuan atau hak pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak.
IV. Hukum warisan
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal dunia. Disamping itu, hukum warisan juga mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.

PENGERTIAN DAN KEADAAN HUKUM DI INDONESIA

Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo Sakson (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini.
Mengenai keadaan hukum perdata di Indonesia sekarang ini masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka ragam. Faktor yang mempengaruhinya antara lain :
1. Faktor etnis
2. Faktor hysteria yuridis yang dapat kita lihat pada pasal 163 I.S yang membagi penduduk Indonesia dalam 3 golongan, yaitu :
a. Golongan eropa
b. Golongan bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli)
c. Golongan timur asing (bangsa cina, India, arab)
Untuk golongan warga Negara bukan asli yang bukan berasal dari tionghoa atau eropa berlaku sebagian dari BW yaitu hanya bagian-bagian yang mengenai hukum-hukum kekayaan harta benda, jadi tidak mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan maupun yang mengenai hukum warisan.
Pedoman politik bagi pemerintahan hindia belanda terhadap hukum di Indonesia ditulis dalam pasal 131, I.S yang sebelumnya terdapat pada pasal 75 RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokonya sebagai berikut :
1. Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus diletakkan dalam kitab undang-undang yaitu di kodifikasi).
2. Untuk golongan bangsa eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri belanda (sesuai azas konkordasi).
3. Untuk golongan bangsa Indonesia dan timur asing jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya.
4. Orang Indonesia asli dan timur asinng, selama mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan suatu bangsa eropa.
5. Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang maka bagi mereka hukum yang berlaku adalah hukum adat.

SEJARAH SINGKAT HUKUM PERDATA

Sejarah membuktikan bahwa hukum perdata yang saat ini berlaku di Indonesia tidak lepas dari sejarah hukum perdata eropa. Di eropa continental berlaku hukum perdata romawi, disamping adanya hukum tertulis dan hukum kebiasaan tertentu.
Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah hukum perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “ Code Civil de Francis” yang juga dapat disebut “Cod Napoleon”.
Sebagai petunjuk penyusunan Code Civil ini digunakan karangan dari beberapa ahli hukum antara lain Dumoulin, Domat dan Pothis. Disamping itu juga dipergunakan hukum bumi putera lama, hukum jernoia dan hukum Cononiek. Code Napoleon ditetapkan sebagai sumber hukum di belanda setelah bebas dari penjajahan prancis.
Setelah beberapa tahun kemerdekaan, bangsa memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari hukum perdata. Dan tepatnya 5 juli 1830 kodivikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgelijk Wetboek) dn WVK (Wetboek Van Koopandle) ini adalah produk nasional-nederland yang isinya berasal dari Code Civil des Prancis dari Code de Commerce.

HUKUM PERDATA

  1.  Hukum Perdata Yang Berlaku Di Indonesia
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar perorangan di dalam masyarakat. Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari hukum pidana. Pengeertian hukum privat (hukum perdana materil) adalah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perorangan didalam masyarakat dalam kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan. Selain ada hukum privat materil, ada juga hukum perdata formil yang lebih dikenal dengan HAP (hukum acara perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.